Ini saya ambil dari catatan temen di Facebook, semoga bermanfaat.
Bismillah,
Assalamualaikum waarahmatullahiwabarrahkatuh,
"Perjuangan
dan pengorbanan yang tidak bisa ternilai dengan harga mahal sekalipun
tersirat dari dia yang memilikki jiwa yang besar dan hati yang
ikhlas."
Aku terlahir di keluarga yang
mungkin menurut pandanganku sendiri masih jauh dari kecukupan. Akan
tetapi walaupun hidup berada di tengah – tengah kesulitan, kedua orang
tuaku, bapak dan ibuku tidak pernah sama sekali menyerah demi
memberikan yang terbaik untukku dan bagi ketiga adikkku. Dari kecil ibu
memang mendidik kami berempat dengan disiplin yang keras dan tegas.
Mungkin juga karena itu, aku dan ketiga adikku segan kepada ibu.
Meskipun ada rasa segan, bukan berarti pula kehangatan hubungan kami
menjadi hambar, akan tetapi justru sebaliknya. Yah, Ibu. Ibu jika
dibandingkan dengan bapakku, mungkin jauh lebih galak. Tapi dialah
wanita yang berbeda menurutku, Ibu tidak pernah mengajarkan putra dan
putrinya manja terhadap apa yang menjadi keinginan buah hatinya.
Alhasil, sikap itu terbawa olehku, dan ketiga adikku, sampai dewasa
kini. Walaupun tidak semuanya seperti demikian, pastilah adikku yang
paling kecil dialah yang manja dengan ibu. Wajar sih, karena dia anak
yang paling bungsu.
Bertumbuh dan berkembang
dalam didikan dan ajaran ibu adalah suatu hal yang indah yang pernah
ada dalam hidupku. Karena di mata kami dialah ibu yang penuh semangat
juang, semangat untuk memaksimalkan usaha agar buah hatinya tidak
merasa kekurangan. Keberhasilan dan kecemerlangan yang dapat ibu
bangun juga ibu ciptakan dari kepribadian yang biasa dengan
kedipilinan, itulah yang membuat kami belajar untuk bertanggung jawab
dari hal yang kecil hingga hal yang besar. Dan Alhamdulillah, itu
berhasil dengan beberapa bukti yaitu keberhasilan yang dapat dicapai
oleh Tauzan dan Vian, karena mereka di mata guru adalah siswa yang cukup
berbakat dalam bidang seni dan mata pelajaran sampai sekarang. Masya
Allah. Tiada kebahagiaan yang paling membahagiakan bagi seorang ibu di
dunia ini selain dia dapat melihat keberhasilan, merasakan kebahagiaan
buah hatinya. Bapak pun seperti itu, bapak tidak pernah bisa diam untuk
mencari dan berusaha menghidupi kami keluarganya. Seorang yang pendiam
dan sabar, tak banyak bicara dan melakukan hal dengan apa yang
semestinya ia lakukan, sungguh – sungguh dalam bekerja itulah bapak.
Bapak dan ibuku, adalah inspirasi sejati bagiku. Dan itu menjadi sangat
berarti setelah hiasan kelam itu berada dalam ruang kelabu di salah
satusisi kehidupanku. Yah, setelah luka itu tergores dan melekat dalam
jiwaku.
Pernahkah Anda mendengar perkataan bijak,”orang
yang mulia hatinya ialah orang yang paling sedih hatinya, namun dalam
kesedihan orang tersebut hanya berupaya untuk membahagiakan orang lain
yang dia sayangi”. Kepribadian yang mulia dan bijaksana
ini tercipta dari jiwa yang utuh, jiwa kuat, yang dapat membangun
ketika dinding – dinding hati mulai rapuh dan runtuh. Dialah Sang
Bidadari Panutan di dunia, penggugah sukma untuk selalu menuangkan isi,
misi, dan visi dalam kanvas kehidupan ini. Hitam putih bahkan beragam
warna indah ia torehkan kepadaku satu persatu, hingga pada akhirnya aku
bisa memahami dan dapat memilih tinta warna hidup manakah yang
semestinya ku hiaskan dalam perjalanan hidupku. Ibu, tiada satu kata
yang mampu ku ungkapkan, dan apabila harus ku tuangkan dalam indahnya
sajak dan syairku, maka itu tidaklah cukup bagiku untuk menggambarkan
kekagumanku akan kasihmu. Terasa sesak bak terhimpit puing - puing asa
di ulu hatiku, ketika segumpal rindu itu memenuhi ruang dalam dadaku.
Ibu sungguh aku merindukanmu. Kedukaan itu masih terselebung dalam
benakku, bayang – bayang hitam seolah mempersalahkan aku sejak 4 tahun
kepergianmu untuk selamanya yang sungguh tak terduga olehku. Bagaikan
rahasia illahi, dan hanya Tuhan -lah yang Maha Tahu. Jika aku mengulas
kembali tentang siapa dan bagaimana sosok itu, air mata di sudut kedua
kelopak mata inipun tak mampu tertahan dan hhh...kubiarkan membasahi
wajahku. Ya Allah, perih dan sedih.
Ucapan mulia
dan doa tulus dari mereka hari itu, 28 September 2009, semakin
memilukan kerinduan ini. Jauh sudah aku beralih dari kenangan pahit itu,
namun sungguh, aku tak bisa melupakan peristiwa na'as yang tengah
merenggut nyawa bidadari duniaku, panutanku. Peristiwa yang membuat aku
hancur ketika bunga – bunga itu mulai bermekaran di hatiku. Hari dimana
yang aku anggap spesial dengan adanya hangat sambutmu, semuanya lenyap
dan sirna. Bahkan tak ada cerita, di hari indah itu yang aku lalui
bersamamu. Adakah sang waktu mau mengertiku? semua sudah terjadi, dan
luka.
Kisah sedih ini terjadi
pada Minggu, 04 September 2005, pukul 08.00 wib. Ketika Bapak pergi
bekerja di luar kota, di Cimahi Bandung.
Malam itu sebelum ibu tidur, ibupun sempat menyatakan keinginannya padaku, “Ana,
bagaimana nanti kalau ulang tahun kamu yang ke 16 tahun ini, ibu
traktir saja ke restoran padang langganan ibu, ajak 10 teman kamu, mau?” tanya ibu padaku. Akupun tersenyum, hm, rasanya tak kalah manisnya dari ibu, “bener ibu mau traktir temenku?”,iya deh boleh”.
Aku peluk tubuh ibuku disampingku. Malam itu aku merasa begitu dekat
dengan ibu, perasaanku haru. Ku sibak malam yang sunyi, diam - diam aku
panjatkan doaku dengan lirihku dalam hati. ”Ya Allah, aku
sayang ibu dan bapakku, maafkanlah kesalahanku jika sempat aku
membiarkan air mata kedua orang tuaku membasahi wajah mereka karenaku,
jadikanlah aku dan adikku anak yang berbakti dan yang mampu memberikan
balasan jasa yang terbaik bagi keduanya ya Allah, berikan aku
kesempatan itu, dan sediakanlah tempat yang indah di syurgaMU bagi
kedua orang tuaku, terutama bagi ibuku, amin.” Aku peluk ibuku dengan erat, ternyata ia sudah terlelap lebih dahulu dariku. Ibu, aku sayang padamu.
Hari
itu cerah, seperti biasanya aku membantu ibu membersihkan rumah. Pagi
itu ibu terlihat lebih tenang, dan tak tampak perangai ketegasan dan
keras yang telah menjadi tabiatnya. Ibu sudah mencuci baju - baju kotor
kami, dan bahkan ibu sudah menanak nasi untuk kami. Selepas
membersihkan tempat tidur, adiku Tauzan melanjutkan tidurnya kembali,
dia memang suka bangun siang kalau di hari libur. 2 adiku, Vian dan Oki
yang sudah mandi, mereka sudah pergi untuk bermain bersama temannya.
Rumah kontrakan kami memang rawan, tepat di depan rumah kami adalah rel
K.A, dimana Kereta Api sering melintas dengan bunyi alarmnya yang
melengking. Di tengah – tengah rel tersebut terdapat ruang yang cukup
luas meskipun depan belakangnya diapit rel K.A yang cukup rawan jika
tidak berhati – hati. Dan di situlah bapakku membuatkan tiang khusus
untuk menjemur pakaian kami, tiangnya dari besi, dan talinya tali
dadung, agar kuat untuk menjemur pakaian yang berkain tebal. Pada waktu
keluar rumah, aku bermaksud menyusul ibu yang sedang menjemur pakaian
dan sekalian mau ambil lap pel. Sewaktu mau menghampiri ibu untuk
meminta kain pel, aku berhenti sejenak karena aku melihat ada loko KA
putih yang akan melintas tepat di depanku. Ku hentikan langkahku,
mundur perlahan. Jujur saat itu ada perasaan tidak enak melihat ibuku,
keinginan untuk berteriak memberitahu “awas bu ada kereta minggir dulu”.
Itu tersendat di kerongkonganku, karena aku melihat ibuku masih sibuk
dengan pakaian yang dijemurnya jadi aku berfikir, ibu belum akan
menyeberang untuk kembali pulang. Saat memundurkan langkahku, aku
melihat loko KA yang tanpa bel melintas halus namun cukup kencang, dan
bersamaan itu ibupun berjalan dan akan menyeberang untuk pulang. Aku
berteriak untuk mengingatkan ibu untuk berhenti dulu dan memundurkan
langkahnya, tapi ternyata ia tidak mendengar teriakanku, dan semua orang
yang di situ ikut panik sepertiku. Di belakang ibu ada K.A ekonomi,
sebab itulah ibu tidak terhiraukan dengan teriakan kami. Loko K.A putih
dari arah barat tak dilihat oleh ibuku, karena pada waktu ibu berjalan
menyeberang ke arahku ibu menolehkan kepalanya ke arah timur. Semuanya
berteriak, tapi tetap saja ibuku tak mendengar lantaran K.A ekonomi
yang melintas dari rel arah belakangnya terlalu bising. Alhasil saat
ibu menolehkan kepala ke arah barat, ibu tersentak kaget, suara
menjerit menggema di udara, aku melihat semuanya waktu itu. Ibuku
terhempas, terjerembab ke dalam seretan loko K.A putih itu.”Allah, Astgfirullah, Ibu, Ibu!” Aku
kaget, berlari berusaha mengejar loko K.A putih itu sembari lisanku
terus beristigfar. Ibuku terseret 3 meter dari depan rumah kontrakan
kami., setelah K.A itu berhenti baru terlihatlah tubuh ibu, ia
tergeletak di tengah rel yang penuh bebatuan itu. Aku meminta
pertolongan tetangga yang ada di situ untuk mengangkat ibuku. Dengan
setengah hati yang masih tak percaya, aku memanggil - manggil ibuku, ”Astgfirullah..ibu, ibu ya Allah, ibu”.
Aku menangis. Tidak ada yang mendekatiku dan berusaha menolong ibu dan
aku. Mungkin semua yang ada di situ merasa ngeri melihat kejadian ini,
tapi tetap saja aku berteriak meminta bantuan ”Tolong pak,tolong saya, tolong ibu saya!” aku
berteriak minta pertolongan. Beberapa saat kemudian Tauzan, adiku
berlari keluar menangis, dia mendekatiku dan mencoba berusaha membopong
ibu kami, tapi kami tidak kuat jika harus membopong ibu dengan perasaan
yang lunglai kala itu. Aku lihat ibu terengah dengan nafasnya, dan
akhirnya ada tetangga yang mau menolong kami. Mas Reman. Dia tetangga
satu kontrakan dengan kami, dialah yang membantu membopong ibuku ke
tepi di teras tetangga yang tak jauh dari rumahku. ”Astagfirullah ibu, ya Allah ibu, istigfar bu, sebut nama Allah, astgfirullah ibu, Ibu!” kataku
sambil terisak. Tangisku belum begitu histeris saat itu, sebab aku
masih merasa tak percaya semua itu terjadi di depan mataku, di
hadapanku.. Aku memeluk ibuku erat-erat, aku mencoba memeriksa nafasnya,
ya Allah, masih ada, aku periksa denyut nadi di tangannya,
Alhamdulillah masih ada, aku periksa apa yang kurang dari bagian
tubuhnya, Astgfirullah kaki ibu sebelah kanan tergilas roda K.A, dari
bagian tengah pahanya ke bawah. Suasana begitu gaduh dan ramai melihat
keadaan ibuku. Lalu tiba - tiba ada 2 orang ibu-ibu mencoba mendirikan
tubuhku dan membawa aku pulang. Aku merengek, “Aku ga mau, aku mau
ibuku, aku ga mau pulang, tolong ibu saya bu, ibu saya belum meninggal,
tolong bu, tolong saya” ujarku pilu. Peristiwa tragis itu membuat aku
benar - benar merasa hatiku yang semula utuh menjadi runtuh. Aku melihat
ibuku ditutup dengan tikar oleh ibu Tumini, tetanggaku. Kembali aku
berlari dan aku berkata kepadanya keras-keras, ”kenapa ibu menutup tubuh ibu saya? ibu saya belum meninggal! ibu saya masih hidup,buka tikarnya! kamu jahat sama ibu saya!”,
Namun kedua ibu tadipun kembali mencegahku untuk mendekati ibu.
Berhasil dibawa kerumah, pun aku duduk menepis dari keramaian orang –
orang sekitarku, orang yang berdatangan ke rumah kontrakanku, tak
sedikit dari mereka berusaha menenangkan aku, aku limbung. Terdiam
membisu, masih tercenung dengan asa yang bergemelut di dalam dadaku,
rasa yang tak mampu aku tuturkan dalam bahasa apapun kala itu. Aku
sedih. ”Ya Allah.Innalillahi wainnalillahi rajiun” lirihku. Pikiranku
kalut, galau, pandanganku kosong menerawang jauh mencari celah dan
berharap ada sinar terang yang mampu mencerahkan hatiku atas kejadian
ini. Aku berusaha untuk menenangkan diriku. Ami sahabatku yang kini
sudah berkeluarga menarik tubuhku dan memeluku erat - erat, dia berkata
padaku “Sabar Na, insya Allah ibu kamu bisa ditolong.” ujar Ami
menenangkan aku, aku tak bisa berkata apapun. Ucapan tasbih masih
mengalun dalam hatiku, berusaha menyadarkan diriku dari kesedihan ini,
sungguh tak mudah bagiku. Setelah agak tenang, ku mencoba hubungi
keluarga besarku, menyampaikan kabar duka ini. Tak lama kemudian salah
seorang dari mereka yang datang ke rumah. Masih bersama diamku, aku
berlalu dari hadapan sahabatku itu. Alhamdulillah aku cukup bisa
menenangkan hatiku meski dengan perasaan yang tak pasti. Usai shalat
dhuha aku berdoa pada Allah, dalam doaku, “Ya Allah, jika
memang ini adalah kehendakMU, maka ikhlaskanlah hamba, meski sungguh
sedih dan berat bagi hamba untuk melaluinya. Tabahkan aku ya Allah.
Jika memang Ibu akan KAU panggil sekarang ini, insya Allah aku sudah
siap. Berikanlah ibuku tempat terindah dan kedudukan yang Mulia di
syurgaMU, ampunilah segala dosa dan maafkanlah segala kesalahannya,
sayangi dia dan jagalah dia, kuatkan aku, bapaku dan ketiga adikku untuk
menerima semua ini, sabarkan aku, tegarkan aku ya Allah. Ikhlaskan
aku, ikhlaskan aku, Ikhlaskan aku ya Allah, Amin”. Wajahku
basah penuh dengan air mata. Mengingat semalam apa yang ibu katakan
padaku. Begitupun masih terngiang olehku ketika ia bercengkerama tentang
alur dalam sebuah perjalanan hidup ini. Astgfirullah, ya Allah. Aku
kehilangan sosok wanita tegar itu. Usai diurus oleh Pihak KA, ibu
dikabarkan telah meninggal dalam perjalanan rumah sakit. Innalillahi
wainnalillahi rajiuun, lagi – lagi aku mencoba berusaha tenang, meski
tak dapat memungkiri aku begitu terpukul. Pilu. Ibu belum sempat
menemaniku di 28 september nanti hari dimana aku bertambah usia yang ke
16 tahun, aku butuh ibu, tapi ibu telah meninggalkan aku, baru
sebentar saja aku merasakan kehangatan ibu, belum sempat aku bisikan
kalimat syahadat di ujung nafas terakhirmu ibu. Ya Allah, maafkan aku.
Berikan yang terbaik baginya, bagi ibuku, dan KAU lah yang Maha Tahu
niat tulus dalam hatiku, batinku. Sementara itu segala sesuatunya telah
diurus oleh kakak ibu yang datang jauh dari Blora ke Solo, setelah ada
kabar dariku siang itu juga. Sedangkan bapak yang masih berada di
Cimahi, bekerja disana, kami belum siap memberikan kabar duka ini pada
beliau saat itu. Butuh waktu dan tindakan yang matang untuk
menyampaikan berita ini kepada beliau. Beberapa saat kemudian,
tersiarkan kabar Ibuku memperoleh santunan 10 juta dari PJKA, pihak K.A
tersebut. Semakin perih hatiku saat mendengar itu, nyawa ibuku
digantikan angka sekian. Sedangkan taruhan nyawanya bagiku tak akan
ternilai dengan harga termahal sekalipun di dunia ini. Sebesar apapun
nilai rupiah, tidak akan bisa menggantikan nilai yang sangat berarti
bagiku. Melihat kebiasaan yang sederhana itu, ketelitian, dan penjagaan
bagi kami putra putrinya, Ibulah yang terbaik. Pun sampai ibu
meninggal, ibu telah selesai membersihkan rumah, dan memasak makanan
untuk kami, rumah yang bersih dan wangi, baju yang tertata rapi, dan
tidak ada sama sekali cucian kotor yang tertinggal, Masya Allah. Sang
bidadari panutanku telah pergi. Meskipun raganya telah berlalu dari
kami, senyum darinya tak lagi hadir menyemangatiku, tetaplah dia masih
di sini, ada bersama nurani, hidup abadi dalam jiwaku, bersinar terang
di sudut-sudut gelapnya hatiku, menghangatkan relung - relung sukmaku
dan menguatkan dinding - dinding kehidupanku.Ibu, selamat jalan, aku
berjanji, selama aku masih bernafas, aku akan melakukan yang terbaik,
seperti pesan yang sempat kau ucapkan padaku. Ibu dimakamkan di Blora,
di tempat nenek, dimana kedua orang tua dari ibuku tinggal dan
merawatnya dari kecil. Setiba jenazah ibuku di Blora, jenazah
almarhumah tidak secara langsung dimakamkan, karena pemakaman
almarhumah ibu diinginkan menunggu kepulangan bapak kami dari Cimahi
terlebih dahulu. Sesampainya bapak di Blora, ku tatap mata itu,
merasakan jiwanya yang pulang penuh dengan sayatan luka, isak tangisnya
begitu dalam. Bapak telah kehilangan orang yang sangat dia cintai, ia
sayangi, dia yang berjuang bersama hidupnya selama ini. Dia yang
menorehkan bait-bait dari kelamnya kehidupan hingga berbunganya cinta
yang tumbuh berkembang dalam hati keduanya. Kedukaan ini, tak mampu
terhapus oleh waktu dan masa yang membunuh akhir dari ujung asaku.
Gemuruh badai dalam hati, membuatku serasa tak mampu untuk menegakkan
langkahku saat itu, dan tiada henti buliran hangat ini terjatuh, menetes
satu - satu, karena duka itu telah membenamkan aku di sudut kepiluan
yang luar biasa.
Ibu sempurna dalam setiap
kekurangannya, karena dalam rapuhnya ia bertahan, ia berusaha untuk
tegar. Ia mengajarkan arti kesabaran dan keikhlasaan. Memahamkan aku
tentang ketegaran. Sulitnya meraih hakekat kebahagiaan yang
sesungguhnya dan mempertahankan kemuliaan, nyaris tak hentikan lelah
langkah lunglai yang ada pada dirinya. Kedisplinan tinggi dan kerasnya
ibu terhadap pendidikan, membangun kepribadian yang cermat dan teliti.
Dan tentang hidup, kini aku dapat mengenal apa arti hidup yang
sebenarnya, bagaimana kita berusaha dengan semestinya. Bagaimana kita
berbagi, mengerti dan saling menghargai satu sama lain. Hati yang
terang dan jiwa yang lapang, sungguh kau sempurna dalam kesederhanaan
dan kekurangan. Ibu,aku masih ingat ketika kau memukul jari – jari
mungilku dengan penggaris plastik bergambarkan hello kitty karena aku
tidak bisa menulis angka 2 dengan tegak di lembar tugasku saat aku masih
di bangku TK dulu. Aku teringat saat kau marah padaku, karena aku diam
- diam mencuri makanan yang dilarang dokter waktu aku sakit gejala
typus saat aku duduk di bangku kelas 3 SD, karena ternyata aku muntah
di situ. Aku dengar doamu ibu. Aku mendengar doamu yang bersimbah penuh
linangan air mata penyesalan dan takutnya kau kehilangan diriku. Kau
inginkan aku cepat sembuh, kau menyayangiku dan kau tahu aku ringkih
dengan kesehatanku. Dulu ketika beberapa hari ibu dirawat di salah satu
RS di Solo, sehabis melahirkan adikku Oki yang terpaksa dioperasi
caessar, aku masih ingat meski samar, ibu menggigil di atas kasurnya
setelah suster rumah sakit salah menyuntik obat untuk ibuku, dan
terpaksa harus mencari donor darah karena kejadian yang hampir membuat
aku kehilangnmu. Parah. Ibu kedinginan, menggigil hebat walapun ibu
sudah diselimuti beberapa selimut tebal di atasnya. Aku tercenung
melihat ibuku, saat itu aku masih duduk di kelas 2 SD. Ia sempat
berucap padaku ”Nduk, berdoa nduk, shalat , berdoa buat ibu, ibu kedinginan nak....” sementara
kakek ayah ibu dan bapak panik mencarikan donor darah untuk ibu yang
ternyata di RS tersebut telah habis dalam persediaannya. Tanpa berfikir
panjang aku mengambil air wudhu, dan shalat di samping bawah kanan, di
dekat ibu, untuk mendoakannya agar ibu baik – baik saja. Pun terekam
jelas dalam ingatanku, binar matanya saat memandangku mengenakan seragam
putih abu – abu, membawa sarapan pagi seraya berkata padaku, “Ya ampun, sekarang putriku sudah SMA, kamu sekarang sudah besar loh Na!”
oh ibu, engkau tampak cantik pagi itu. Ibu, maafkan aku ibu, selama ini
aku mengira kau hanya menyayangi adik, ternyata begitu berharganya
diriku bagimu. Maafkan aku jika aku tidak mau menjadi gadis yang
pemberani seperti yang kau minta dan itu terlihat ketika aku kau
paksakan ikut lomba nyanyi di malam 17-an dulu. Tapi Ibu, aku akan
berusaha dan melanjutkan perjuanganmu, aku akan buktikan pada semua
orang, bahwa Kaulah yang terbaik, Kau mampu mengajarkan pribadi yang
mulia dan mandiri pada kami, putra dan putrimu. Berikan Senyummu ibu,
restui langkahku, aku mampu bertahan dalam kegetiran asa ini, itu juga
karenamu, kau yang selalu mengajarkan arti keikhlasan, dan selalu
belajar sabar untuk menerima keadaan. Aku mencintaimu ibu, aku
merindukanmu, aku sangat merindukanmu. Kau memiliki andil besar dalam
diriku. Semoga engkau tenang disana ibundaku, aku tak mau kau bersedih,
meski ku tahu kau akan berduka jika melihat aku merana dan beruraikan
air mata karena terluka. Tenanglah Ibu, akan kukirimkan doa-doa tulusku
dari sini untukmu. Percayalah, kasihmu telah mampu menggoreskan tinta
biru dalam kalbuku. Menopang dalam setiap deru langkah kehidupanku.
Alhamdulilah
sekarang aku bekerja menjadi salah satu pegawai di net Blogger 2, yang
tempatnya tak jauh dari rumahku. Sepeninggal ibu, penerapan disiplin
aku contohkan kepada ketiga adikku, Tauzan, Vian, dan Oki. Sementara
dengan bapak sendiri, sekarang akulah yang menjadi manager keuangan,
juru masak dan teladan bagi adikku. Tidak mudah menjadi ibu, kita harus
teliti dan cermat. Posisiku yang bekerja pun kadang tak bisa fokus
dengan salah satu kebutuhan adiku, karena adiku. Berusaha belajar adil
sesusai dengan kebutuhan yang adik – adikku perlukan. Alhamdulillah,
sekarang akupun juga jarang sakit, tidak seringkih dulu. Tidak seperti
waktu ibu masih ada, mungkin saat itu ada yang menjagaku dan sekarang
kalau aku sakit siapa yang akan mengobatiku?kalaupun ada, aku merasa
adik dan bapakku jauh lebih membutuhkan perhatianku. Walau pun aku
adalah anak perempuan, aku merasa mempunyai tanggung jawab terhadap
keluargaku, ajaran mandiri dan berjiwa kuat dari ibu, kini telah melekat
dalam pribadiku. Meski semua itu tak mengalir lengkap dalam diriku.
Ibu pernah berpesan padaku “jadilah wanita yang tegar,
yang kau pun mampu menjadi tempat bersandarnya suami dan anak - anakmu,
karena kita tak tahu apa yang akan terjadi nanti, jadi kamu harus
mandiri, belajarlah menerima, sabarkan hati, dan berusahalah untuk
selalu ikhlas ketika kau memberi. Jadilah pribadi yang sopan dan
mengerti keadaan orang-orang di sekitar kamu nanti”.
Masya Allah. Kasih sayang ibulah yang memberikan pengertian tentang
ikhlas untuk memberi tanpa berharap kembali. Pengorbanan yang besar
ketika ia berjuang melahirkan kita ke dunia ini, mempertaruhkan nyawa
demi kita darah dagingnya, telah mampu memahamkan aku tentang kerasnya
berjuang dalam hidup dan rasa rela berkorban demi kebahagiaan yang lain.
IA rela menguras keringat dan mengacuhkan rasa gengsinya demi
memenuhi kebutuhan putra putrinya. Apakah kami pernah atau sering
melihat dia mengeluh pada kami anak -anaknya?? jawabannya adalah tidak.
Walaupun kami tidak kaya akan materi, tapi ibuku selalu berusaha
menempatkan aku dan ketiga adikku dalam posisi yang pantas, entah itu
dari pendidikan yang memang menjadi prioritas utama baginya untuk kami,
hingga masalah asupan yang bergizi untuk kami, dan hal lain sekecil
apapun itu. Ibuku adalah pribadi yang disiplin keras namun tetap hangat
akan kasih sayangnya. Ia tak pernah kehilangan akal demi membantu
bapakku mencari tambahan untuk kebutuhan kami, anak – anaknya.
Subhannallah. Ibu yang dalam pandangan kami tak pernah terlihat takut
ataupun gentar, ketika ia harus berkecimbung dalam keadaan yang rumit
dan sulit. Panutan sempurna yang terkemas dari asa yang biasa, sampai
dengan yang luar biasa. Itulah Ibuku.
Penuh rasa
bersyukur, dan tidak ada rasa puas dalam berbuat kebajikan, disitu ibu
mengajarkan kami tentang sikap yang selalu rendah hati. Kebenaran yang
berjalan di atas fakta dan realita, tidak mudah dinilai hanya dengan
sebatas perasaan saja. Hidup ini memerlukan tekad yang kuat, usaha yang
keras. Cakrawala pagi masih menantang kita untuk berjuang, dan langit
biru yang menghampar luas bersama awan - awan putih itu isyaratkan
keceriaan, jadi pasanglah senyumu, dan niatkan dalam hatimu. Satu
pesan, lakukan yang terbaik! Dan tunjukkan keberhasilan dari upaya ibu
kita mendidik dan mengajarkan kita semenjak kita masih kecil.
Buktikanlah tentang segala hal kepada semua orang, dari apa yang ibunda
kita berikan. Memberi pengertian betapa mulianya diri yang lekat dengan
kebersahajaan, penuh akan kebijakan dan menjadi manusia dewasa, yang
mengerti bagaimana harus bersikap sekalipun saat kita menghadapi
seburuk – buruknya keadaan, Ibulah yang mampu membangun citra diri itu.
Dialah Ibu, aura bijaksana yang tertanam dalam sosoknya yang penuh
dengan kelembutan. So, semangati diri untuk meraih point-point emas di
kotak pahala! Jadilah anak yang berbakti pada kedua orang tua kita,
terutama pada Ibunda tercinta.
Kisah ini
sempat menempatkan aku dalam kepenatan yang panjang dan berhasil
membawaku dalam keputus asaan. Tapi, aku tak bisa seterusnya berdiam
diri. Aku harus tumbuh menjadi manusia yang dewasa dan sadar akan
tanggung jawabku, dan sekaranglah waktunya untukku membuktikan semua
itu. Walaupun air mata ini selalu meneteskan kepiluan jika rasa rindu
itu hadir lagi, kehilangan dirinya bagaikan kehilangan separuh jiwa,
karena dia terlalu berharga untukku. Begitu dahsyatnya hatiku luluh
lantak ketika sang waktu begitu cepat membunuh massa yang berlari saat
kebersamaan itu berada dalam genggamanku. Namun, aku berharap apa yang
telah aku genggam saat ini, mampu menempatkan keyakinanku untuk tetap
bertahan sampai akhir di penghujung usiaku nanti .Insya Allah, amin.
Perjalanan
manusia menuju puncak kecemerlangan dengan tahta yang mulia, memang
terjal, dan berliku. Akan tetapi, jiwa yang kadang rapuh, hati yang
rentan apabila menemui rintangan yang bisa menyesekkan dada, memang
perlu dilatih agar kita bisa kuat. Sehingga terciptalah dinding –
dinding perisai yang kokoh untuk mempertahankan asa dari keterpurukan
dan keterasingan. Betapapun sulitnya, yakinkan dalam diri kita bahwa
kita mampu melewati segala nestapa dan duka, berusaha menjadi pribadi
yang tenang dalam seburuk – buruknya keadaan, tetap sabar dan ikhlas
dalam menerima segala kendala yang ada. Jadilah diri kita sendiri,
semampu kita melakukannya. Semangat! *_^. Berjuanglah bersama !
berjuang bukan untuk menjadi “yang terbaik”, tapi “melakukan yang
terbaik semampu kita”. Biaskanlah keindahan di wajah bidadari itu, agar
ia tetap cantik dan anggun dengan senyumnya karena melihat kita
berbahagia dengan hakekat kebahagiaan di dunia ataupun akhirat yang kita
cari dengan cara – cara yang diberkahi oleh Illahi Rabbi. Insya Allah,
amin.
Sebuah perjalanan yang panjang dan cukup
pahit untuk aku telan. Seburuk apapun ibu, dialah yang melahirkan kita.
Dialah yang mengajarkan kita tentang apa yang tidak kita bisa.Dia yang
mengenalkan kita tentang kehidupan di dunia ini. Ia berikan arti baik
dan buruk, ajarkan perbedaan hitam dan putihnya cahaya yang ada di
depan kita, agar kita tidak salah untuk melangkah. Dari pendidikan,
sosial, kebudayaan, agama dan kepribadian, Ibu multitalenta. Menjaga
perasaan ibu sangatlah penting, jangan biarkan ibu kita terpenuhi
kekesalan dan kecewa atas sikap kita. Selama kita mempunyai pesan dan
ungkapan rasa kasih kepada ibu, maka katakanlah, jangan menunda apapun
yang ingin kita sampaikan. Pun bukan berarti pula kejujuran itu tidak
bisa membedakan keadaan dimana kita harus menjaga perasaan kepada
setiap orang yang kita sayang. Tidak akan pernah ada ibu yang maukan
anaknya sama dengannya, pastilah dia mengharapkan buah hatinya
mendapatkan yang lebih baik dari apa yang ia milikki sekarang ini. Ibu
akan melakukan hal apapun demi kita agar kita tetap merasa aman dalam
penjagaannya, tentram dalam kehidupannya. Jika ibu pun mempunyai salah,
pahamilah karena ibu kita juga manusia yang mempunyai kekurangan, dan
letak kesalahan. Maka maafkanlah kesalahannya, ketika ia lupa untuk
memperhatikan kita, saat dia mungkin sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Letakkanlah pengertian, pada siapakah semua pengorbanan itu berpulang?
Ungkapkan dengan hati jika kita maukan perhatiannya yang lebih, bukan
dengan emosi diri. Bertutr katalah penuh dengan sopan dan santun
terhadapnya, hormatilah dirinya. Berhati - hatilah dengan perasaan yang
halus itu. Jangan pernah lupakan dirinya demi harta, ataupun tahta.
Wajib kita sadari bahwasannya dari siapa kita mengenali itu semua.
Setiap tetesan darahnya telah mengalir dalam tubuh kita, menyatu
bersama jiwa kita, dan berdetak bersama jantung kehidupan kita.
Ingatlah Ibu yang dengan sabar ketika kita menunda jam makannya demi
membersihkan kotoran kita, bahkan ia tersenyum gemas saat melihat kita
tertawa lebar dengan bibir mungil kita yang seolah tidak merasa
bersalah karena telah menunda kelaparannya. Dia tidak akan marah saat
kita menangis, merengek ingin disusuinya saat kita terbangun tengah
malam kehausan, dan justru ia berbalik mencium dahi kita dengan penuh
rasa kasih sayang sembari dengan segera ia memberikan asinya untuk kita.
Ibu membenamkan tubuh mungil kita dalam pelukkannya, agar kita merasa
nyaman. Belaian hangat tangannya, menyapu segala keresahan dalam jiwa
kita. Seakan ibu meyakinkan bahwa kita aman dalam dekapannya. Ibu mampu
menerima segala kekurangan dan kelebihan kita, tak sedikitpun terhapus
kasih sayangnya walaupun kita sering menorehkan luka dan kecewa.
Sungguh Ibu adalah bidadari yang mulia akan cinta dan kasihnya. Sosok
beranugerahkan besar dari Tuhan Yang Maha Esa, yang mampu menginsiprasi
tentang berbagai aspek dalam perjalanan hidup ini. Jangan biarkan rasa
kehilangan itu semakin mencuat dalam peluh kita, hingga berakhir dengan
kelukaan dan rasa hampa. Karena hal sekecil apapun, memang akan
terasa hilang jika dia telah pergi meninggalkan kita, dan merana karena
yang ada hanyalah sisa – sisa asa yang dulu sempat kita tepiskan dari
pengakuan hati kita sendiri. Lakukanlah sekarang! katakan
lah sekarang! dan sampaikan sekarang!, selama masih ada kesempatan dan
waktu yang tersisa untuk kita.
Sekian terimakasih,
Wassalamuaalaikum warrahmatullahi wabarrahkatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar